Rabu, 18 Maret 2015

Serapah 13 #5



Genap satu minggu sebelum kelulusanku mengambil spesialis, aku mendengar kabar buruk dari rumah Abah.
“Halo, dek, ini Mbak Dinda, Abah masuk rumah sakit, dan sekarang kondisinya memburuk, Abah ingin semua anak istri dan cucunya berkumpul besok, kamu besok pulang ya, Mbak sangat berharap kamu bisa pulang, mungkin ini permintaan Abah yang terakhir.” Suara Mbah Dinda terlihat berbata-bata ketika di telfon.
“Iya Mbak, setelah ini Nur langsung cari tiket pesawat.”
“Yaudah, kamu hati-hati ya, dek. Doain Abah terus.”
“Iya, Mbak.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam. Mbak yang tabah ya, yang sabar..”
“Iya dik.”
Keesokan harinya aku pun berkemas pulang. Syukurlah, aku mendapat tiket penerbangan pagi ini. Sepulang dari Jakarta aku langsung menuju rumah sakit. Namun sepertinya suasana biru dan duka telah menyelimuti ruang ICU.
“Dek, hikhikhik..” begitu sampai di depan pintu ICU, Mbak Dinda langsung memelukku sambil terisak menangis.
“Sabar ya, Mbak. Biarkan Abah pergi dengan tenang..” kataku sambil menenangkan Mbak Dinda. Abah sudah usianya untuk rapuh, namun ajaran-ajaran tentang hidupnya tak akan pernah tua. Berkat Abah aku sadar bahwa aku salah menilai kehidupan ini. Aku hanya melihat semuanya dari sisi materi dan kulit luarnya saja, bukan seperti manggis yang tampak buruk dan manis di dalamnya. Mulai hari ini aku akan jauh lebih bijak dalam menilai segala hal, buruk bukan berarti sangat buruk di dalamnya, mungkin sosok baik di luarnya ternyata sangat buruk di dalamnya. Maafkan aku Abah telah menilaimu salah selama ini. Selamat jalan Abah, semoga Engkau diterima disisi-Nya.(END)

 Surakarta, 8 Agustus 2011 23.17 WIB
Opus,

Dewantika Kusmono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar