Senin, 16 Maret 2015

Serapah 13 #2



Selamat datang di kerajaan cinta Pak Baroh. Di depan rumah sudah menyambut istri-istri tua Pak Baroh dengan penuh suka cita, raut wajah mereka terlihat sangat bahagia, mungkin itu hanya sebuah topeng yang mereka pakai setiap kali menyambut orang baru di rumah itu. Aku pun terus berprasangka buruk dan lebih buruk lagi.
Laki-laki paruh baya ini dengan sigap menyambut salam tangan dari istri, anak, dan cucunya. Bahkan mungkin cicitnya. Kemudian salah seorang dari mereka menghampiriku.
“Dek, namanya siapa?”
“Nur.” Jawabku singkat sambil membawa tas besar berisi pakaian.
“Sini Mak bawakan bajunya. Oiya, kenalin, Mak Atun, istri pertamanya Abah.”
“Oh.” Wanita ini seusia nenekku, mungkin 5 tahun lebih muda. Dia masih terlihat bugar walau wajahnya mulai keriput. Selang beberapa menit istri-istri Pak Baroh pun menghampiriku.
“Namanye Nur ye, cakep, hehe.. Aye Mak Lile, istri kedua Abah.” Dengan mengenakan daster ala kadarnya dia memperkenalkan dirinya dengan logat ala Betawi.
“Nurlaila.” Jawabku sedikit malu dan takut, yang ada dipikiranku dia terlihat sangat galak. Mungkin setiap hari dia akan memarahiku. Selang beberapa saat tampak sosok wanita cantik, seusia ibuku dengan dandanan yang begitu berkelas. Dia tampak jauh berbeda dengan istri-istri sebelumnya.
“Hey, aku Dinda, kamu Nur ya? Abah udah cerita banyak tentang kamu, jangan segan ya buat cerita kalau ada masalah, panggil aku Mbak Dinda aja.” Dan aku pun hanya mengangguk.
Aku hanya bisa menerka dan membayangkan akan seperti apa hidupku di rumah ini. Sosok Mak Atun yang terlihat sabar namun dipikiranku menjadi sosok yang bermuka dua, kemudian Mak Lila yang jauh lebih terbuka sifatnya, dia akan menjadi orang yang sangat kejam dan selalu menyuruh ini itu, sementara Mbak Dinda yang terlihat begitu baik, dalam bayanganku dia akan menjadi sosok pengadu domba. Ya Tuhan, betapa buruk sangkanya aku, namun sejujurnya itu yang sedang bergejolak di otakku sekarang.
Kemudian Mak Atun membawaku ke sebuah kamar dengan kasur berjajar seperti asrama.
“Nah, ini kasur tidur kamu, kalo sebelah itu kasur Mak Lila, kalo sebelah kiri itu kasur Mbak Dinda, nah yang ini, kasur Emak. Di depan kamu itu kasur Dina, anak pertama Mak Lila, sebelah kirinya kasur Mila, anak kedua Mak Lila, sebelah kanannya kasur Sarah, anak ketiga Mak Lila. Kalau mau mandi di sumur belakang rumah,”
Di rumah ini hanya ada 5 ruangan, yaitu :  2 kamar tidur, 1 ruang keluarga, 1 ruang ibadah, dan 1 ruang dapur. Di rumah ini hanya ada 2 kamar, 1 kamar untuk istri-istri dan anak Pak Baroh, dan satu kamar lagi untuk siapa ya? Apa untuk cucu-cucunya Pak Baroh atau untuk Pak Baroh sendiri? Kalau kamar itu untuk Pak Baroh, lalu dimana cucu-cucunya itu akan tidur? Lalu kalau anak-anak kecil itu adalah cucu-cucunya Pak Baroh, dimana anak-anak laki-laki atau anak menantunya? Karena yang terlihat di rumah ini sosok laki-laki dewasa hanya Pak Baroh. Keluarga ini memang sangat lain dari biasanya.
“Loh, kamu kenapa melamun? Apa yang sedang kamu pikirkan?” Mak Atun membangunkanku dari lamunan.
“Oh, gapapa kok, Mak.”
“Yasudah, sepertinya kamu lelah, istitrahat dulu sana, ini bajunya sudah mak siapin.”
“Makasih, Mak.” Kemudian Mak Atun meninggalkanku sendirian di kamar.  (to be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar