Selasa, 17 Maret 2015

Serapah 13 #3



Sudah 1 minggu di rumah ini namun Pak Baroh sama sekali belum menyentuhku, berbicara sepatah katapun tidak, dia bahkan tidak menatapku sedikitpun. Aku diperlakukan oleh mereka bukan sebagai salah satu istri dari Pak Baroh, bahkan mereka memperlakukanku layaknya anak seusiaku. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan keluarga ini, aku salah karena telah berburuk sangka terhadap mereka. Tidak ada perkelahian, iri, dan dengki di rumah ini, aku justru merasakan keteduhan dan kenyamanan bersama mereka.
Setelah melakukan sholat subuh berjamaah Pak Baroh menghampiriku yang sedang duduk di beranda rumah.
“Kamu sedang apa di sini?”
“Oh eh, sedang cari udara segar, Pak, eh, Bah..”
“Haha, panggil aku Abah saja, kamu rindu dengan rumah kamu?”
“E.. Tidak,”
“Lantas apa yang kamu pikirkan? Abah bisa melihat dari wajah kamu kalau kamu sedang memikirkan sesuatu? Apa kamu ada masalah dengan penghuni yang lain?”
“Enggak, Bah.”
“Lantas apa? Apa Abah boleh tau?”
“Kenapa Abah tidak memintaku untuk menemani tidur? Bukannya aku istri Abah?”
“Haha, nak, apa mau kamu tidur di sini malam-malam?”
“Loh, jadi Abah tidur di luar rumah tiap malam? Bukannya Abah tidur di kamar sebelah?”
“Nak nak, kalo Abah tidur di kamar sebelah, cucu-cucu Abah mau tidur di mana? Ya beginilah keluarga Abah, serba apa adanya, kamu yang nerimo ya..”
“Lalu, kenapa Abah menikahiku?”
“Karena serapah Bapakmu, Abah ga mau nanti Bapakmu masih punya hutang setelah di liang lahat, ya, semoga ini semua ada hikmahnya, semoga dengan kejadian ini Bapakmu jadi sadar, berhenti judi dan mabuk-mabukan,”
“Jadi Abah tidak benar-benar ingin aku memenuhi kepengenan Abah,”
“Abah tidak tega menyentuh cucu Abah sendiri, kamu sudah Abah anggap seperti cucu Abah sendiri Nur, kalau kamu rindu dengan rumahmu, kamu boleh menginap di sana, biar nanti Dinda yang mengantarmu.”
“Ga Bah, Nur malu dengan keluarga Nur sendiri, apalagi kelakukan Bapak.”
“Setiap hari kamu doakan semoga bisa sadar, oiya, kamu ga pengen sekolah? Sekarang kamu harusnya kelas 1 SMP kan?”
“Ee.. Iya Bah,”
“Kamu masih pengen sekolah?”
“Masih, Bah. Tapi karena keadaan seperti ini, lebih baik aku lupakan cita-citaku itu.” Jawabku dengan wajah sendu.
“Abah bisa menyekolahkanmu, yah, kalau kamu mau sekolah?”
“Beneran, Bah?!!!”
“Iyaa,  besok ajaran baru biar Dinda yang siapin semua keperluan sekolahmu.”
“Tapi Bah, kalau keadaannya memang ga memungkinkan ga usah aja, aku kasian sama Abah, lebih baik untuk makan bersama-sama Bah,”
“Tenang saja, uang Abah masih banyak. Yah, walaupun dalam bentuk Dollar, hahaha..”
“Ah Abah bisa aja. Makasih banyak, Abah,”  (to be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar