Senin, 02 Maret 2015

Fashion Doctor #2



Sebulan setelah perayaan besar itu aku pun berkemas menuju bandara. Hari ini aku berangkat ke London. Antusias. Sedih. Ya, aku harus jauh dari kedua sahabat gilaku. Aku pun mulai mengepak baju-bajuku ke dalam Regan glitter-finish leather suitcase keluaran Jimmy Choo. Kupersiapkan apa yang aku pakai hari ini, dan aku berencana memakai black outfit. Beberapa menit memandangi rak sepatu, aku pun akhirnya mengeluarkan Tribtoo loafer-style leather pumps Yves Saint Laurent dan segera kukenakan.
“Pak, tolong antar saya ke Bandara.”
“Baik bu, mana barang-barang yang perlu di bawa?”
Sebelum berangkat kedua sahabatku berjanji untuk menemuiku, ya, even just to say goodbye. Laju mobil menuju bandara terasa begitu singkat. Aku sebenarnya masih belum bisa meninggalkan negara ini. Dan kuhibur hatiku sendiri. Im just study. Toh, nanti aku bakal balik lagi ke sini. Sesampainya di sana ternyata Renatha dan Bertha sudah menunggu. Wajah mereka tampak murung, apalagi Renatha, terlihat sangat berbeda dari biasanya.
Hey, Im gonna missing both of you sooooo,” aku pun memeluk keduanya.
Take care ya di sana,” kata Renatha sambil mencium keningku.
Sure.”
“Dan setiap weekend harus sempetin buat skype. Right?” tambah Bertha.
“Harus! Kalian sesekali main ke rumah ya, sama cek klinik kalo sempet“ pesanku.
Oke,Bye dear..”
Dan akhirnya laju kaki ini semakin menjauh dari mereka. I’m totally alone and lonely maybe. Dan tiba-tiba air mata ini menggenang dibalik 24-karat brushed gold watersnake-trimmed aviator sunglasses keluaran Linda Farrow Luxe.  Hampa rasanya tanpa canda tawa mereka berdua.
Duduk di dalam pesawat ini sendirian, dan terlihat seorang laki-laki dengan mengenakan jas yang terlihat mahal di sebelahku. Aku mulai mengeluarkan sebuah majalah fashion dari tasku, dan mulai membuka tiap halaman. Apa yang harus aku lakukan semalaman ini yang kurang lebih 14 jam, exclude kalo harus transit. Aku mulai berimajinasi sambil terus mempersibuk diri membolak-balik halaman majalah. Rasa kurang nyaman mulai menggelitik ketika laki-laki di sebelahku membuka kacamata hitamnya. Ga bisa aku pungkiri, paras dia yang membuatku terus penasaran untuk menengok ke arahnya. Dan aku pun kedapatan ketika mencuri pandang untuk menjawab rasa penasaranku, dia membalasku dengan senyumannya. Diam, hening, dan sepi untuk beberapa jam. Keadaan ini seperrti partikel es beku yang di dalamnya ada sebuah butiran berlian. Dan secara tidak sengaja pandanganku mengarah ke wajahnya dan kebetulan dia melakukan hal yang sama. Kami berpandangan, dan melepas senyum manis. Kedua pipiku seolah memerah.
“Hmm, I’m Ben,” dia pun dengan sangat gagah menyodorkan tangannya.
Nath,” jawabku singkat. Rasanya setelah melajang bertahun-tahun baru kali ini aku melihat laki-laki maskulin dengan aroma parfum yang sangat khas.
“Ada bisnis di London?” tanyanya.
No, aku hanya ingin menempuh studi disana.”
Postgraduate? Or professor?”
No, Undergraduate actually” jawabku dengan sedikit senyum malu. Ya dengan wajahku yang sematang ini memang seharusnya aku berada pada tingkat study itu.
Sorry, bukan maksut saya...”
Its oke, actually Im a doctor, but I quit and decided to study on fashion design.” Kataku, dan rasanya aku ingin lebih menjelaskan detail tentang diriku. Siapa aku sebenarnya. Dan itu aneh.
I see, shocking actually, tapi kenapa kamu memutuskan untuk melakukan sebuah perubahan besar dalam hidupmu?” dan dia semakin interest dengan kisah hidupku. Semakin dekat wajah dia mengarah ke arahku, dan semakin terasa aroma nafas dia yang sangat segar.
“Ya, aku bosan dengan semua rutinitas, I’m stuck, dan rasanya jiwaku tidak berada di sana, because I love fashion,”
Just it?”
No, actually. Sebenarnya ada beberapa hal yang benar-benar memotivasi ku untuk berani melangkah sejauh ini. I’m alone, dan aku selalu melakukan banyak hal tanpa pertimbangan siapapun, dan aku merasakan passionku di fashion memang sudah benar-benar lekat.”
You are a multitalented lady,”
“Hahaha, you must be joking, I’m the unstabil one, right?”
“Hahaha, no, I like a kind of girl like you, a strong and brave one,” speechless. Rasanya kata-kata itu membuatku terbang ke awan, bahkan ketinggian pesawat ini aku rasa lebih rendah dari tingginya hatiku saat ini.
“............................”
Dan suasana hening beberapa saat sembari mata kita saling berpandangan. Lekat dan begitu dalam. Mata dia seolah bercerita dan mengajak untuk jauh lebih memandang ke dalam. Ben, ben, ben.
Dan semua berlanjut dengan sangat menarik dan menyisakan segelumit bercak pink di hatiku sebelum akhirnya bandara yang menyadarkanku bahwa dia bukan siapa-siapa.
Oke, bye..”
See you next time, really nice to know you,”
Bodohnya ketika dia tidak meninggalkan jejak apapun. Aku tidak memiliki kontak dia sama sekali. Yang kutau sejauh perjalanan 14-20 jam ini hanya nama dia, Ben. Itu saja. Entah Benjamin, atau Benny, atau Ben yang lainnya. to be contine

Tidak ada komentar:

Posting Komentar