Kamis, 19 Maret 2015

Bintang Jatuh #1



Sore ini aku duduk di atap rumah seperti biasanya, sebuah ritual yang telah berlangsung selama 10 tahun lamanya. Dengan wajah menengadah ke atas, aku merasakan betapa teduhnya langit di sore hari, dengan warna keemasan matahari, burung-burung yang lalu lalang hendak pulang menuju sarangnya, serta kelelawar yang memulai  kehidupannya di malam hari. Kutarik nafas dalam-dalam, lalu aku mulai terbawa suasana dan memejamkan mata dengan perlahan, Tuhan sungguh indahnya dunia ciptaanMu ini.
Tiba-tiba terdengar teriakan yang membuatku tersadar kembali, sebuah suara yang sering sekali mengganggu saat-saat indahku menikmati terbenamnya matahari. Itulah Dandu, teman sebayaku, teman masa kecilku, sahabat sejatiku, sosok kakak bagiku, serta pengganggu yang melengkapi perannya dalam hidupku.
“Woiii…!!! Bintang jatuh….” itulah, sapaan yang menjadi makanan sehari-hariku, bukan maksud dia menghina namaku, atau sekedar melecehkan namaku, karena itulah nama aku yang sebenarnya. Bintang Jatuh, nama yang unik sekaligus aneh bukan? Nama yang senantiasa membuatku malu karena ledekan yang tak berkesudahan dari teman-temanku, nama yang sempat membuatku malu untuk pergi ke sekolah, serta nama yang sering membuatku menangis setiap hari waktu kecil. Dan nama itu juga yang selalu membuatku mengeluh pada Bunda untuk segera mengganti namaku. Tapi Bunda selalu bisa meluluhkan dan menenangkan hatiku dengan kata-kata bijaknya. Itulah hebatnya Bundaku.
“Dandu…!!! Kenapa sih selalu aja ganggu hidup aku???” aku merasa kesal, bagaimana tidak sebal kalau ritualku selalu terganggu dengan keberadaan dia yang berada tepat di depan mataku, karena rumah dia yang tepat sekali berada di depan rumahku, serta atap rumah yang sama tingginya dengan atap rumahku, dan tak jarang dia tiba-tiba melompat ke rumahku dengan melewati atap ini.
“Mungkin aku terlahir sebagai pengganggu hidupmu, hehehe…” itulah dia, orang yang merasa hidupnya hanya untuk merusak, mengacaukan, serta menghebohkan hidupku. Karena rasa kesal aku yang sudah menuju puncak, akupun memutuskan untuk segera turun, walaupun dengan sedikit kecewa karena tidak bisa melakukan ritual di hari ini, tapi itu lebih baik daripada harus menghabiskan suaraku untuk memarahi dia habis-habisan. Dan pastinya lebih baik mandi daripada terus memandang wajah dia yang secara otomatis membuatku naik darah. (to be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar