Senin, 16 Maret 2015

Serapah 13 #1



Hidup itu legam, sama seperti malam yang kelam. Aku bukan  Siti Nurbaya, namun kehidupanku jauh lebih mengerikan darinya. Jika Siti dijodohkan dengan orang kaya, aku dijodohkan oleh seorang laki-laki tua yang miskin dan dijadikan istri keempatnya. Jika Siti sudah dewasa untuk melakukan pernikahan, namun aku masih jauh terlalu dini untuk memiliki suami, apalagi setua itu. Suamiku ini lebih pantas jika disebut sebagai kakekku. Meskipun sudah tua, kakekku jauh lebih tampan dari laki-laki ini. Entah apa yang dipikirkan oleh Bapakku saat itu.
Pernikahanku ini hanyalah sebuah gurauan belaka, hanya terlintas dalam sekejap mata. Ketika suatu malam Bapak sedang bermain judi di warung kopi Kang Asep, dan Bapak sudah benar-benar kehabisan rupiahnya hingga dia mengatakan sumpah serapahnya itu.
“Duit lo udah abis, mau taruhan pake apa lagi lo?” tantang seorang kakek paruh baya.
“Anak gadis gue kalo perlu jadi tarohannya.” Jawab Bapak sambil sedikit sempoyangan.
Dan karena serapah Bapak yang konyol itu akhirnya aku duduk di sini bersanding dengan seorang aki-aki paruh baya. Tampak wajah Bapak yang begitu menyesal, dan terlihat tangisan haru adik-adikku. Mungkin lebih menguntungkan aku menikah dengan seorang laki-laki tua kaya raya jika dibandingkan dengan laki-laki ini, dan bahkan aku jauh lebih ikhlas menikahi duda beranak 5 sekalipun jika tidak miskin. Kakek ini sudah miskin, istripun tiga. Aku sudah bisa membayangkan hidupku setelah hari ini, aku harus bekerja keras untuk menghidupi dan membayar hutang-hutang keluargaku sendiri, di samping disuruh ini itu oleh istri-istri tua kakek ini, dan harus memenuhi hasrat nafsu seorang paruh baya yang menjijikan itu. Bukan ini yang aku impikan, anak seusiaku seharusnya memikirkan pekerjaan rumah, ulangan, ujian, dan nilai raport.
Ijab qabul pun dilaksanakan di rumahku, dan tanpa pesta apapun, aku pun resmi diboyong oleh kakek ini. Dengan senyum ompongnya, dia pun menggandeng tanganku. Rasanya aku ingin muntah. Aku ingin sekali mengamuk kepada Bapak, namun apa daya, dia adalah orang tuaku sendiri. Aku hanya bisa berdoa, semoga dengan kejadian ini Bapak bisa sadar, dia lebih bisa mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjauhi minuman beralkohol serta judi. Semoga ini menjadi akibat maksiat Bapak yang terakhir.
Sebelum meninggalkan rumah, Bapak pun berpesan padaku.
“Nak, nanti kamu di sana yang nurut ya sama suami kamu. Maafkan Bapak ya, nak menjerumuskan kamu dalam keadaan seperti ini, Bapak menyesal nak.” Kemudian Bapak pun tak kuasa meneteskan air mata di pelukanku. Aku tidak bisa lagi marah terhadapnya, karena setiap tetesan air mata mengingatkanku pada pesan almarhumah Ibu.
“Udah, Bapak ga usah nangis, jagain adek-adek ya, Pak. Nanti Nur sesekali main ke rumah. Doain Nur di sana betah. Bapak jaga kesehatan ya, jangan minum-minum lagi, jangan judi-judi lagi, semoga Nur jadir korban serapah Bapak yang terakhir. Bapak sholatnya jangan lupa ya. Nur pamit ya, Pak.” Aku pun mencium tangan Bapak dan kembali memeluk Bapak. Ya, bagaimanapun Beliau adalah Bapakku, ayah yang menanamkan benih di kandungan ibuku.
“Nur, maafin Bapak ya naak..”
“Iya, Nur gapapa kok, Bapak jangan sedih gitu.”
Dan sebuah becak sudah menanti untuk memboyongku ke rumah suamiku. Rasanya aneh menyebut kakek tua ini dengan sebutan suami.(to be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar