Senin, 16 Maret 2015

Pernikahan Merah Muda Untuk Tiana #7



Tiana adalah anak gadisku satu-satunya, dan dia adalah sumber keceriaan di rumahku. Aku adalah ibu yang paling beruntung karena memiliki anak seperti Tiana, anak yang begitu polos, ceria, selalu membawa sebuah kebahagiaan dan harapan. Anak ini adalah anak yang selama ini aku perjuangkan, karena virus tokso yang menjalar di tubuhku membuatku selalu gagal dalam mempertahankan kehidupan di dalam tubuhku, hanya dia satu-satunya anak terkuat yang bisa bertahan sampai sebesar ini, dia adalah anugerah, lebih dari sekedar kehidupan yang  aku miliki sendiri. Nafasnya adalah berkah bagiku.
Namun semenjak hari itu, anyelirku kini berubah menjadi kamboja, semua keceriaan yang dia miliki semakin larut oleh penyakit kejam yang menggerogoti darah merahnya. Dia kini menunggu masa kebotakannya, dan menunggu masa pucat pasinya. Aku benar-benar tidak tega melihat wajah ceria dibalik pucat pasinya. Leukimia bak seperti parasit yang semakin lama semakin merusak jaringan kehidupannya. Senyum yang tersungging di bibirnya terasa sangat berat yang memberikan arti ‘aku sangat kesakitan’. Aku tidak kuasa menitihkan air mata setiap kali melihat senyuman yang begitu pucat itu. Anakku yang paling kuat kini kau kembali menjadi lemah dan semakin tak berdaya, nak.
Hari ini aku hanya bisa melakukan apa yang menjadi harapan-harapan terakhirnya. Dulu, setiap kata pernikahan yang dia ucapkan menjadi sebuah gurauan yang tidak pernah aku hiraukan, namun sekarang, pernikahan adalah sebuah kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Gadis kecilku ini hanya memimpikan pernikahan dengan mengenakan gaun berwarna merah muda. Hanya itu saja, rasanya aku tidak ingin menjadi orang tua yang paling menyesal jika tidak mengabulkan impian terakhir anaknya. Ranting kecilku ini sudah mulai merapuh walau belum saatnya besar karena rayap-rayap kejam yang menggerogoti setiap persendian tubuhnya.
Pagi ini gadis mungilku terlihat sangat cantik mengenakan gaun merah muda seperti apa yang dia inginkan. Dulu aku selalu memimpikan suatu hari aku akan melihat putri kecilku ini tumbuh dewasa dan menikah dengan pria idamannya, dan hari ini semua impianku terwujud, hanya waktu dan keadaan yang membedakannya. Dia sekarang sudah berdiri di altar, dengan membawa bunga dan digandeng oleh ayahnya, dia terlihat sangat mungil sekali. Pipinya kini tidak lagi terlihat kemerahan karena kini dia dipenuhi dengan kepucatan. Senyuman itu sangat indah sekali, gadis kecilku akhirnya menikah. Anak mungil yang masih berusia 6 tahun ini sudah menjadi mempelai, aku ingin dia merasa bahagia sebelum Tuhan benar-benar melenyapkannya dari pandanganku. Aku paham sekarang, betapa berharganya impian itu, walaupun itu hanya impian seorang anak kelas 1 SD, namun rasanya seperti harapan terakhir dari orang yang sedang sekarat.
Pernikahan kali ini bukan sebuah perasaan suka cita yang dirasakan, haru dan sendu menyelimuti acara ini. Wajah orang-orang yang datang terlihat begitu pilu, tak sedikit dari mereka meneteskan air mata, bak menghadiri pemakaman, mereka membawa sapu tangan dan mengusap air matanya di sepanjang prosesi ini. Benar, pemakaman, pemakaman yang dibaluti sebuah pernikahan. Setelah semua acara selesai, gadis kecilku itu dengan sigap menghampiriku.
“Bunda, makasih yah udah ngebolehin Tiana menikah, walaupun Tiana belum bisa menyetir dan membeli mobil sendiri seperti Bunda. Nanti kalo Tiana di surga Bunda jangan pernah lupain Tiana yah,” kemudian dia memelukku. Anak sekecil ini sudah berbicara tentang hidup di surga. Apa dia sudah benar-benar memahami arti perpisahan dan kematian?
“Sayang, jangan bilang begitu, ga boleh ah! Nanti kita ke surga sama-sama ya..” (to be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar