Genap
satu minggu sebelum kelulusanku mengambil spesialis, aku mendengar kabar buruk
dari rumah Abah.
“Halo,
dek, ini Mbak Dinda, Abah masuk rumah sakit, dan sekarang kondisinya memburuk,
Abah ingin semua anak istri dan cucunya berkumpul besok, kamu besok pulang ya,
Mbak sangat berharap kamu bisa pulang, mungkin ini permintaan Abah yang
terakhir.” Suara Mbah Dinda terlihat berbata-bata ketika di telfon.
“Iya
Mbak, setelah ini Nur langsung cari tiket pesawat.”
“Yaudah,
kamu hati-hati ya, dek. Doain Abah terus.”
“Iya,
Mbak.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
salam. Mbak yang tabah ya, yang sabar..”
“Iya
dik.”
Keesokan
harinya aku pun berkemas pulang. Syukurlah, aku mendapat tiket penerbangan pagi
ini. Sepulang dari Jakarta aku langsung menuju rumah sakit. Namun sepertinya suasana
biru dan duka telah menyelimuti ruang ICU.
“Dek,
hikhikhik..” begitu sampai di depan pintu ICU, Mbak Dinda langsung memelukku
sambil terisak menangis.
“Sabar
ya, Mbak. Biarkan Abah pergi dengan tenang..” kataku sambil menenangkan Mbak
Dinda. Abah sudah usianya untuk rapuh, namun ajaran-ajaran tentang hidupnya tak
akan pernah tua. Berkat Abah aku sadar bahwa aku salah menilai kehidupan ini.
Aku hanya melihat semuanya dari sisi materi dan kulit luarnya saja, bukan
seperti manggis yang tampak buruk dan manis di dalamnya. Mulai hari ini aku
akan jauh lebih bijak dalam menilai segala hal, buruk bukan berarti sangat
buruk di dalamnya, mungkin sosok baik di luarnya ternyata sangat buruk di
dalamnya. Maafkan aku Abah telah menilaimu salah selama ini. Selamat jalan
Abah, semoga Engkau diterima disisi-Nya.(END)
Surakarta, 8 Agustus 2011 23.17 WIB
Opus,
Dewantika Kusmono
Surakarta, 8 Agustus 2011 23.17 WIB
Opus,
Dewantika Kusmono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar