Hidup
itu legam, sama seperti malam yang kelam. Aku bukan Siti Nurbaya, namun kehidupanku jauh lebih
mengerikan darinya. Jika Siti dijodohkan dengan orang kaya, aku dijodohkan oleh
seorang laki-laki tua yang miskin dan dijadikan istri keempatnya. Jika Siti
sudah dewasa untuk melakukan pernikahan, namun aku masih jauh terlalu dini
untuk memiliki suami, apalagi setua itu. Suamiku ini lebih pantas jika disebut
sebagai kakekku. Meskipun sudah tua, kakekku jauh lebih tampan dari laki-laki
ini. Entah apa yang dipikirkan oleh Bapakku saat itu.
Pernikahanku
ini hanyalah sebuah gurauan belaka, hanya terlintas dalam sekejap mata. Ketika
suatu malam Bapak sedang bermain judi di warung kopi Kang Asep, dan Bapak sudah
benar-benar kehabisan rupiahnya hingga dia mengatakan sumpah serapahnya itu.
“Duit
lo udah abis, mau taruhan pake apa lagi lo?” tantang seorang kakek paruh baya.
“Anak
gadis gue kalo perlu jadi tarohannya.” Jawab Bapak sambil sedikit sempoyangan.
Dan
karena serapah Bapak yang konyol itu akhirnya aku duduk di sini bersanding
dengan seorang aki-aki paruh baya. Tampak wajah Bapak yang begitu menyesal, dan
terlihat tangisan haru adik-adikku. Mungkin lebih menguntungkan aku menikah
dengan seorang laki-laki tua kaya raya jika dibandingkan dengan laki-laki ini, dan
bahkan aku jauh lebih ikhlas menikahi duda beranak 5 sekalipun jika tidak
miskin. Kakek ini sudah miskin, istripun tiga. Aku sudah bisa membayangkan
hidupku setelah hari ini, aku harus bekerja keras untuk menghidupi dan membayar
hutang-hutang keluargaku sendiri, di samping disuruh ini itu oleh istri-istri
tua kakek ini, dan harus memenuhi hasrat nafsu seorang paruh baya yang
menjijikan itu. Bukan ini yang aku impikan, anak seusiaku seharusnya memikirkan
pekerjaan rumah, ulangan, ujian, dan nilai raport.
Ijab
qabul pun dilaksanakan di rumahku, dan tanpa pesta apapun, aku pun resmi
diboyong oleh kakek ini. Dengan senyum ompongnya, dia pun menggandeng tanganku.
Rasanya aku ingin muntah. Aku ingin sekali mengamuk kepada Bapak, namun apa
daya, dia adalah orang tuaku sendiri. Aku hanya bisa berdoa, semoga dengan
kejadian ini Bapak bisa sadar, dia lebih bisa mendekatkan diri kepada Tuhan dan
menjauhi minuman beralkohol serta judi. Semoga ini menjadi akibat maksiat Bapak
yang terakhir.
Sebelum
meninggalkan rumah, Bapak pun berpesan padaku.
“Nak,
nanti kamu di sana yang nurut ya sama suami kamu. Maafkan Bapak ya, nak
menjerumuskan kamu dalam keadaan seperti ini, Bapak menyesal nak.” Kemudian
Bapak pun tak kuasa meneteskan air mata di pelukanku. Aku tidak bisa lagi marah
terhadapnya, karena setiap tetesan air mata mengingatkanku pada pesan
almarhumah Ibu.
“Udah,
Bapak ga usah nangis, jagain adek-adek ya, Pak. Nanti Nur sesekali main ke
rumah. Doain Nur di sana betah. Bapak jaga kesehatan ya, jangan minum-minum
lagi, jangan judi-judi lagi, semoga Nur jadir korban serapah Bapak yang
terakhir. Bapak sholatnya jangan lupa ya. Nur pamit ya, Pak.” Aku pun mencium
tangan Bapak dan kembali memeluk Bapak. Ya, bagaimanapun Beliau adalah Bapakku,
ayah yang menanamkan benih di kandungan ibuku.
“Nur,
maafin Bapak ya naak..”
“Iya,
Nur gapapa kok, Bapak jangan sedih gitu.”
Dan
sebuah becak sudah menanti untuk memboyongku ke rumah suamiku. Rasanya aneh
menyebut kakek tua ini dengan sebutan suami.(to be continue)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar