Rasanya
senang mendengar salah satu sahabatku menemukan jodohnya. Dan aku masih saja
payah dalam hal ini. Di pesawat aku banyak merenung dan mengenang masa-masa
terindah dalam pejalanan
bersama seorang laki-laki maskulin, Ben. Kutengok lagi seat di sampingku memastikan bahwa dia bukan Ben, ya, dia memang
benar-benar bukan Ben.
Aku
harus bisa bergerak untuk mencari laki-laki itu. Selama ini aku memang pasif.
Tapi rasanya aku harus mulai realistis. Dari mana aku harus memulai mencarinya.
Apakah aku harus mengetik ‘BEN’ di keyword google, dan kemudian kujajaki satu per satu nama Ben yang muncul.
Sama sekali tidak masuk akal. Hufht,
menyerahlah saja Nathalie. Itu hal yang sangat tidak masuk akal. Carilah
laki-laki lain dan hadapilah kenyataan ini. Suara hatiku mulai tidak
meyakini Ben.
Akhirnya
aku menginjakkan kaki di tanah air. Dan sahabatku Renatha menyambutku dengan
pelukan hangatnya.
“Welcome to the jugle, designer!”
kemudian di sambut oleh Bertha.
“I miss you sooo much!” dan tampak
seorang laki-laki dengan senyum manisnya tepat di sebelah Renatha.
“Oiya,
sorry, Nath, ini Ben, Ben, ini Nathalie.”
“Hey, we met again.” Dan itu yang terucap
dari mulut dia. Ya, dia Ben, Ben yang selama ini aku khayalkan. Ternyata, dia
adalah Ben milik Renatha, sahabat dekatku. Dan aku hanya bisa terdiam.
“Hey,
kok bengong Nath, kalian udah saling kenal? Kenal dimana? Ga nyangka deh..
Yuk..” dan aku masih saja terdiam tanpa kata. Antara terkejut, terpukul, sedih,
dan entah apalah ini.
Dan
di mobil pun aku masih saja terdiam tidak percaya.
“Nath,
Hey! Lo kenapa bengong terus sih..” Renatha pun membangunkanku dari segala
perasaan yang berkecambuk ini. Dan kabar yang lebih membuatku
hampir mati adalah bulan depan mereka menikah. Itu lebih shocking lagi. Ini aku namakan musibah di atas kebahagiaan, gila,
benar-benar gila. to be continue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar