Sebulan setelah
perayaan besar itu aku pun berkemas menuju bandara. Hari ini aku berangkat ke
London. Antusias. Sedih. Ya, aku harus jauh dari kedua sahabat gilaku. Aku pun
mulai mengepak baju-bajuku ke dalam Regan
glitter-finish leather suitcase keluaran Jimmy Choo. Kupersiapkan
apa yang aku pakai hari ini, dan aku berencana memakai black outfit. Beberapa
menit memandangi rak sepatu, aku pun akhirnya mengeluarkan Tribtoo loafer-style leather pumps Yves Saint Laurent dan segera
kukenakan.
“Pak, tolong
antar saya ke Bandara.”
“Baik bu, mana
barang-barang yang perlu di bawa?”
Sebelum
berangkat kedua sahabatku berjanji untuk menemuiku, ya, even just to say goodbye. Laju mobil menuju bandara
terasa begitu singkat. Aku sebenarnya masih belum bisa meninggalkan negara
ini. Dan kuhibur hatiku sendiri. Im just
study. Toh, nanti aku bakal balik
lagi ke sini. Sesampainya
di sana ternyata Renatha dan Bertha sudah menunggu. Wajah mereka tampak murung,
apalagi Renatha, terlihat sangat berbeda dari biasanya.
“Hey, Im gonna missing both of you sooooo,”
aku pun memeluk keduanya.
“Take care ya di sana,” kata Renatha
sambil mencium keningku.
“Sure.”
“Dan setiap weekend harus sempetin buat skype. Right?” tambah Bertha.
“Harus! Kalian
sesekali main ke rumah ya, sama cek klinik kalo sempet“ pesanku.
“Oke,Bye dear..”
Dan akhirnya
laju kaki ini semakin menjauh dari mereka. I’m
totally alone and lonely maybe. Dan tiba-tiba air mata ini menggenang
dibalik 24-karat brushed gold
watersnake-trimmed aviator sunglasses keluaran Linda Farrow Luxe. Hampa
rasanya tanpa canda tawa mereka berdua.
Duduk
di dalam pesawat ini sendirian, dan terlihat seorang laki-laki dengan
mengenakan jas yang terlihat mahal di sebelahku. Aku mulai mengeluarkan sebuah
majalah fashion dari tasku, dan mulai membuka tiap halaman. Apa yang harus aku
lakukan semalaman ini yang kurang lebih 14 jam, exclude kalo harus transit. Aku mulai berimajinasi sambil terus
mempersibuk diri membolak-balik halaman majalah. Rasa kurang nyaman mulai menggelitik
ketika laki-laki di sebelahku membuka kacamata hitamnya. Ga bisa aku pungkiri,
paras dia yang membuatku terus penasaran untuk menengok ke arahnya. Dan aku pun
kedapatan ketika mencuri pandang untuk menjawab rasa penasaranku, dia
membalasku dengan senyumannya. Diam, hening, dan sepi untuk beberapa jam.
Keadaan ini seperrti partikel es beku yang di dalamnya ada sebuah butiran
berlian. Dan secara tidak sengaja pandanganku mengarah ke wajahnya dan
kebetulan dia melakukan hal yang sama. Kami berpandangan, dan melepas senyum
manis. Kedua pipiku seolah memerah.
“Hmm, I’m Ben,” dia pun dengan sangat gagah
menyodorkan tangannya.
“Nath,” jawabku singkat. Rasanya setelah
melajang bertahun-tahun baru kali ini aku melihat laki-laki maskulin dengan
aroma parfum yang sangat khas.
“Ada
bisnis di London?” tanyanya.
“No, aku hanya ingin menempuh studi
disana.”
“Postgraduate? Or professor?”
“No, Undergraduate actually” jawabku
dengan sedikit senyum malu. Ya dengan wajahku yang sematang ini memang
seharusnya aku berada pada tingkat
study itu.
“Sorry, bukan maksut saya...”
“Its oke, actually Im a doctor, but I quit
and decided to study on fashion design.”
Kataku, dan rasanya aku ingin lebih menjelaskan detail tentang diriku. Siapa
aku sebenarnya. Dan itu aneh.
“I see, shocking actually, tapi kenapa
kamu memutuskan untuk melakukan sebuah perubahan besar dalam hidupmu?” dan dia
semakin interest dengan kisah
hidupku. Semakin dekat wajah dia mengarah ke arahku, dan semakin terasa aroma
nafas dia yang sangat segar.
“Ya,
aku bosan dengan semua rutinitas, I’m
stuck, dan rasanya jiwaku tidak berada di sana, because I love fashion,”
“Just it?”
“No, actually. Sebenarnya ada beberapa
hal yang benar-benar memotivasi ku untuk berani melangkah sejauh ini. I’m alone, dan aku selalu melakukan
banyak hal tanpa pertimbangan siapapun, dan aku merasakan passionku di fashion
memang sudah benar-benar lekat.”
“You are a multitalented lady,”
“Hahaha,
you must be joking, I’m the unstabil one,
right?”
“Hahaha,
no, I like a kind of girl like you, a strong
and brave one,” speechless.
Rasanya kata-kata itu membuatku terbang ke awan, bahkan ketinggian pesawat ini
aku rasa lebih rendah dari tingginya hatiku saat ini.
“............................”
Dan
suasana hening beberapa saat sembari mata kita saling berpandangan. Lekat dan
begitu dalam. Mata dia seolah bercerita dan mengajak untuk jauh lebih memandang
ke dalam. Ben, ben, ben.
Dan
semua berlanjut dengan sangat menarik dan menyisakan segelumit bercak pink di
hatiku sebelum akhirnya bandara yang menyadarkanku bahwa dia bukan siapa-siapa.
“Oke, bye..”
“See you next time, really nice to know you,”
Bodohnya
ketika dia tidak meninggalkan jejak apapun. Aku tidak memiliki kontak dia sama
sekali. Yang kutau sejauh perjalanan 14-20 jam ini hanya nama dia, Ben. Itu
saja. Entah Benjamin, atau Benny, atau Ben yang lainnya. to be contine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar