Tiana adalah anak gadisku
satu-satunya, dan dia adalah sumber keceriaan di rumahku. Aku adalah ibu yang
paling beruntung karena memiliki anak seperti Tiana, anak yang begitu polos,
ceria, selalu membawa sebuah kebahagiaan dan harapan. Anak ini adalah anak yang
selama ini aku perjuangkan, karena virus tokso
yang menjalar di tubuhku membuatku selalu gagal dalam mempertahankan kehidupan
di dalam tubuhku, hanya dia satu-satunya anak terkuat yang bisa bertahan sampai
sebesar ini, dia adalah anugerah, lebih dari sekedar kehidupan yang aku miliki sendiri. Nafasnya adalah berkah
bagiku.
Namun semenjak hari itu, anyelirku
kini berubah menjadi kamboja, semua keceriaan yang dia miliki semakin larut
oleh penyakit kejam yang menggerogoti darah merahnya. Dia kini menunggu masa
kebotakannya, dan menunggu masa pucat pasinya. Aku benar-benar tidak tega
melihat wajah ceria dibalik pucat pasinya. Leukimia bak seperti parasit yang
semakin lama semakin merusak jaringan kehidupannya. Senyum yang tersungging di
bibirnya terasa sangat berat yang memberikan arti ‘aku sangat kesakitan’. Aku
tidak kuasa menitihkan air mata setiap kali melihat senyuman yang begitu pucat
itu. Anakku yang paling kuat kini kau kembali menjadi lemah dan semakin tak
berdaya, nak.
Hari ini aku hanya bisa melakukan
apa yang menjadi harapan-harapan terakhirnya. Dulu, setiap kata pernikahan yang
dia ucapkan menjadi sebuah gurauan yang tidak pernah aku hiraukan, namun
sekarang, pernikahan adalah sebuah kebahagiaan yang tak ternilai harganya.
Gadis kecilku ini hanya memimpikan pernikahan dengan mengenakan gaun berwarna merah
muda. Hanya itu saja, rasanya aku tidak ingin menjadi orang tua yang paling
menyesal jika tidak mengabulkan impian terakhir anaknya. Ranting kecilku ini
sudah mulai merapuh walau belum saatnya besar karena rayap-rayap kejam yang
menggerogoti setiap persendian tubuhnya.
Pagi ini gadis mungilku terlihat
sangat cantik mengenakan gaun merah muda seperti apa yang dia inginkan. Dulu
aku selalu memimpikan suatu hari aku akan melihat putri kecilku ini tumbuh
dewasa dan menikah dengan pria idamannya, dan hari ini semua impianku terwujud,
hanya waktu dan keadaan yang membedakannya. Dia sekarang sudah berdiri di
altar, dengan membawa bunga dan digandeng oleh ayahnya, dia terlihat sangat
mungil sekali. Pipinya kini tidak lagi terlihat kemerahan karena kini dia
dipenuhi dengan kepucatan. Senyuman itu sangat indah sekali, gadis kecilku
akhirnya menikah. Anak mungil yang masih berusia 6 tahun ini sudah menjadi
mempelai, aku ingin dia merasa bahagia sebelum Tuhan benar-benar melenyapkannya
dari pandanganku. Aku paham sekarang, betapa berharganya impian itu, walaupun
itu hanya impian seorang anak kelas 1 SD, namun rasanya seperti harapan
terakhir dari orang yang sedang sekarat.
Pernikahan kali ini bukan sebuah
perasaan suka cita yang dirasakan, haru dan sendu menyelimuti acara ini. Wajah
orang-orang yang datang terlihat begitu pilu, tak sedikit dari mereka meneteskan
air mata, bak menghadiri pemakaman, mereka membawa sapu tangan dan mengusap air
matanya di sepanjang prosesi ini. Benar, pemakaman, pemakaman yang dibaluti
sebuah pernikahan. Setelah semua acara selesai, gadis kecilku itu dengan sigap
menghampiriku.
“Bunda, makasih yah udah ngebolehin
Tiana menikah, walaupun Tiana belum bisa menyetir dan membeli mobil sendiri
seperti Bunda. Nanti kalo Tiana di surga Bunda jangan pernah lupain Tiana yah,”
kemudian dia memelukku. Anak sekecil ini sudah berbicara tentang hidup di
surga. Apa dia sudah benar-benar memahami arti perpisahan dan kematian?
“Sayang,
jangan bilang begitu, ga boleh ah! Nanti kita ke surga sama-sama ya..” (to be continue)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar