Sore ini aku duduk di atap rumah seperti biasanya,
sebuah ritual yang telah berlangsung selama 10 tahun lamanya. Dengan wajah
menengadah ke atas, aku merasakan betapa teduhnya langit di sore hari, dengan
warna keemasan matahari, burung-burung yang lalu lalang hendak pulang menuju
sarangnya, serta kelelawar yang memulai
kehidupannya di malam hari. Kutarik nafas dalam-dalam, lalu aku mulai
terbawa suasana dan memejamkan mata dengan perlahan, Tuhan sungguh indahnya
dunia ciptaanMu ini.
Tiba-tiba terdengar teriakan yang membuatku tersadar
kembali, sebuah suara yang sering sekali mengganggu saat-saat indahku menikmati
terbenamnya matahari. Itulah Dandu, teman sebayaku, teman masa kecilku, sahabat
sejatiku, sosok kakak bagiku, serta pengganggu yang melengkapi perannya dalam
hidupku.
“Woiii…!!! Bintang jatuh….” itulah, sapaan yang menjadi
makanan sehari-hariku, bukan maksud dia menghina namaku, atau sekedar
melecehkan namaku, karena itulah nama aku yang sebenarnya. Bintang Jatuh, nama
yang unik sekaligus aneh bukan? Nama yang senantiasa membuatku malu karena
ledekan yang tak berkesudahan dari teman-temanku, nama yang sempat membuatku
malu untuk pergi ke sekolah, serta nama yang sering membuatku menangis setiap
hari waktu kecil. Dan nama itu juga yang selalu membuatku mengeluh pada Bunda
untuk segera mengganti namaku. Tapi Bunda selalu bisa meluluhkan dan
menenangkan hatiku dengan kata-kata bijaknya. Itulah hebatnya Bundaku.
“Dandu…!!! Kenapa sih selalu aja ganggu hidup aku???”
aku merasa kesal, bagaimana tidak sebal kalau ritualku selalu terganggu dengan
keberadaan dia yang berada tepat di depan mataku, karena rumah dia yang tepat
sekali berada di depan rumahku, serta atap rumah yang sama tingginya dengan atap
rumahku, dan tak jarang dia tiba-tiba melompat ke rumahku dengan melewati atap
ini.
“Mungkin aku terlahir sebagai pengganggu hidupmu,
hehehe…” itulah dia, orang yang merasa hidupnya hanya untuk merusak,
mengacaukan, serta menghebohkan hidupku. Karena rasa kesal aku yang sudah
menuju puncak, akupun memutuskan untuk segera turun, walaupun dengan sedikit
kecewa karena tidak bisa melakukan ritual di hari ini, tapi itu lebih baik
daripada harus menghabiskan suaraku untuk memarahi dia habis-habisan. Dan
pastinya lebih baik mandi daripada terus memandang wajah dia yang secara
otomatis membuatku naik darah. (to be continue)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar