Tiga hari belum ada kabar yang jelas mengenai Bunda. Aku
sudah berusaha menghubungi kantor Bunda, tapi mereka bilang Bunda sudah pulang
sejak dua hari yang lalu. Itu membuatku tidak selera makan, hal itu pula yang
mebuatku menangis seharian ini. Dan sekali lagi ada Dandu yang membuatku
sedikit tenang.
“Bin, kamu makan ya?” sudah dua puluh kali ini dia
menyodorkan sesuap nasi ke mulutku. Tapi aku masih saja tidak ingin makan
apapun. Dan aku tidak menghiraukannya sama sekali. Karena yang ada dipikiranku
sekarang hanyalah Bunda, Bunda yang datang dengan ceria seperti biasanya.
“Bintang!!! Kenapa kamu seperti ini, Bintang yang aku
kenal ga seperti ini, Bintang yang aku kenal selalu ceria, tabah, dan ga pernah
nyerah…” dan Dandu pun mulai putus asa menyadarkanku, hingga dia mengguncang
tubuhku berkali-kali. Akupun tak kuasa menahan air mata keluar untuk kesekian
kalinya.
“Bunda… Dandu nakal nih,” aku berkata seolah Bunda ada
di rumah seperti biasanya.
“BINTANG!!! Kamu yang sabar ya,” dengan pelukan kasih
sayangnya, Dandu menyadarkanku bahwa Bunda tidak ada di rumah, bahwa Bunda
entah berada di mana, bahwa Bunda sekarang bagaimana, aku benar-benar putus
asa. Kemana Bunda ku Ya Tuhan… Haruskah aku kehilangan seseorang yang aku
sayang untuk kedua kalinya, setelah kepergian Ayah.
Dan sebuah bunyi telefon mengehntikan semua tangisku.
‘Kring Kring’
Akupun segera berlari mengangkat telepon, karena aku
yakin itu pasti Bunda.
“Tuh kan,
apa aku bilang, itu pasti Bunda… Menyebalkan, aku harus marah besar ke Bunda,”
dengan penuh suka cita aku pun mengangkat gagang telefon itu. Karena telepon
ini adalah secercah harapan bagi aku.
“Hallo, Bunda!!! Bintang marah besar sama Bunda, pokonya
sekarang juga Bunda harus pulang, ga ada lagi alasan ini itu, pokoknya Bunda
harus pulang sekarang juga….”
“Hallo… Maaf, benarkah ini kediaman Nyonya Selly?”
“I..i...i….iya, ini Bunda kan?” akupun mulai lemas, ternyata itu
bukanlah Bunda yang aku harapkan.
“Ini anaknya ya pasti, sebelumnya, saya mohon maaf, saya
turut berduka cita,”
“Apa maksudnya?” akupun merasa tidak begitu enak, kenapa
orang ini mengucapkan turut berduka cita, apa mungkin dia teman ayah dulu yang
baru mengetahui meninggalnya ayah?
“Dengan sangat menyesal saya harus memberitahukan bahwa
ibu anda sudah… sudah….”
“Sudah apa?!!!” air mata kembali menetes dengan tidak
aku sadari, Tuhan… Apa ini sebuah pertanda buruk?
“Sudah dipanggil oleh yang Tuhan, beliau terkena
kecelakaan saat hendak pulang,” Ini mimpi, ini bukanlah kenyataan, ini pasti
hanya lamunanku saja. Dan terlihat Dandu berlari ke arahku dengan segera dan
memandangku dengan penuh haru.
“Maaf, anda salah sambung!” dan akupun sgera menutup
telfonnya.
“Siapa, Bin?” Dandu pun mengahmpiriku dengan penuh
kekhawatiran.
“Salah sambung kok,” tapi tubuhku sudah terlanjur
melemas, urat-uratku pun tak kuat lagi menahan tubuhku, badankupun tergeletak
begitu saja. Dandu pun menyadari betapa rapuhnya aku saat ini.
“Bunda Dan….”
“Bunda kenapa?”
“Bunda ga bakal pulaaaang, Dan….” Runtuh pertahanan
tubuhku, seolah tulangku menjadi lunak seketika. Bunda adalah satu-satunya
jiwaku, Bunda adalah nyawaku semenjak Ayah meninggal, Tuhan, jangan ambil orang
yang paling berharga satu-satunya.
“Bunda bakalan pulang kok, tenang ajah.” Dandu berusaha
menenangkanku, memberiku harapan yang aku tahu, itu ga akan mungkin terwujud.
“Ga Dan, Bunda ga mungkin balik lagi, hikhikhik…” isak
tangisku membuat Dandu tak bisa berkutik. Dia mungkin bisa menebak, apa yang
terjadi pada Bunda. Dan suara telfon kembali memecahkan kekacauan keadaan
sekarang ini.
‘kring kriiing’
Dandu pun mengangkat telfon itu, sementara aku masih
terkulai lemah di di lantai.
“Hallo, iya benar, innnalillahi! Dimana sekarang
jenazahnya, iya, terima kasih, Pak.”
“Bin.” Seketika setelah menutup telfon Dandu pun memeluk
erat tubuhku. Dia mulai mencium keningku dan mencoba menenangkanku.
“Sabar ya sayang.. Masih ada aku, Mama, Papa, Nenek, I believe you can face it, and you have to
belive that you are not alone, masih banyak orang-orang yang sayang sama
Bintang Jatuh,” aku hanya bias diam, menatap dengan pandangan kosong, seolah
aku ini antara hidup dan tidak. Aku ingin mati, tapi kenapa jiwa ini masih
hidup, aku ga ingin sendirian, aku ga kuat untuk hidup sebatang kara.
“Heh!!!! Listen!!
U may cry…” Iya, aku ga bias nangis, entah kenapa, rasa sedih dan
kehilangan ini membekukan semua yang ada di tubuhku, termasuk darah dan air mataku.
Dandu terus saja mengoyak-ngoyak badanku, dia memeluk erat tubuhku, menciumi
keningku dengan air mata dia yang terus berlinang. Sekujur tubuhku seolah
terbanjiri oleh air matanya, aku yang harus menangis, kenapa dia, mungkin
karena dia merasa kasihan kepadaku. Dan mulai hari inilah aku hanyalah ssbatang
kara yang ga punya siapapun, hanya Dandu yang aku punya. (to be continue)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar