Sudah
1 minggu di rumah ini namun Pak Baroh sama sekali belum menyentuhku, berbicara
sepatah katapun tidak, dia bahkan tidak menatapku sedikitpun. Aku diperlakukan
oleh mereka bukan sebagai salah satu istri dari Pak Baroh, bahkan mereka
memperlakukanku layaknya anak seusiaku. Aku benar-benar tidak habis pikir
dengan keluarga ini, aku salah karena telah berburuk sangka terhadap mereka.
Tidak ada perkelahian, iri, dan dengki di rumah ini, aku justru merasakan
keteduhan dan kenyamanan bersama mereka.
Setelah
melakukan sholat subuh berjamaah Pak Baroh menghampiriku yang sedang duduk di
beranda rumah.
“Kamu
sedang apa di sini?”
“Oh
eh, sedang cari udara segar, Pak, eh, Bah..”
“Haha,
panggil aku Abah saja, kamu rindu dengan rumah kamu?”
“E..
Tidak,”
“Lantas
apa yang kamu pikirkan? Abah bisa melihat dari wajah kamu kalau kamu sedang
memikirkan sesuatu? Apa kamu ada masalah dengan penghuni yang lain?”
“Enggak,
Bah.”
“Lantas
apa? Apa Abah boleh tau?”
“Kenapa
Abah tidak memintaku untuk menemani tidur? Bukannya aku istri Abah?”
“Haha,
nak, apa mau kamu tidur di sini malam-malam?”
“Loh,
jadi Abah tidur di luar rumah tiap malam? Bukannya Abah tidur di kamar
sebelah?”
“Nak
nak, kalo Abah tidur di kamar sebelah, cucu-cucu Abah mau tidur di mana? Ya
beginilah keluarga Abah, serba apa adanya, kamu yang nerimo ya..”
“Lalu,
kenapa Abah menikahiku?”
“Karena
serapah Bapakmu, Abah ga mau nanti Bapakmu masih punya hutang setelah di liang
lahat, ya, semoga ini semua ada hikmahnya, semoga dengan kejadian ini Bapakmu
jadi sadar, berhenti judi dan mabuk-mabukan,”
“Jadi
Abah tidak benar-benar ingin aku memenuhi kepengenan
Abah,”
“Abah
tidak tega menyentuh cucu Abah sendiri, kamu sudah Abah anggap seperti cucu
Abah sendiri Nur, kalau kamu rindu dengan rumahmu, kamu boleh menginap di sana,
biar nanti Dinda yang mengantarmu.”
“Ga
Bah, Nur malu dengan keluarga Nur sendiri, apalagi kelakukan Bapak.”
“Setiap
hari kamu doakan semoga bisa sadar, oiya, kamu ga pengen sekolah? Sekarang kamu
harusnya kelas 1 SMP kan?”
“Ee..
Iya Bah,”
“Kamu
masih pengen sekolah?”
“Masih,
Bah. Tapi karena keadaan seperti ini, lebih baik aku lupakan cita-citaku itu.” Jawabku
dengan wajah sendu.
“Abah
bisa menyekolahkanmu, yah, kalau kamu mau sekolah?”
“Beneran,
Bah?!!!”
“Iyaa,
besok ajaran baru biar Dinda yang siapin
semua keperluan sekolahmu.”
“Tapi
Bah, kalau keadaannya memang ga memungkinkan ga usah aja, aku kasian sama Abah,
lebih baik untuk makan bersama-sama Bah,”
“Tenang
saja, uang Abah masih banyak. Yah, walaupun dalam bentuk Dollar, hahaha..”
“Ah
Abah bisa aja. Makasih banyak, Abah,” (to be continue)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar