Selasa, 21 April 2015

Ben and Frapuccino #3



Sudah 5 tahun aku dan Ben menjalani hubungan yang sempurna ini. Dia seperti frapuccino, dingin, hangat, sulit ditebak, memabukkan, misterius, dan meninggalkan rasa candu. Ben membawaku ke dunianya yang begitu kental dengan kaum kelas atas, mungkin ini cara dia mengajarkanku untuk perlahan-lahan menjadi calon istrinya. Dia mulai memperkenalkan merk-merk kaum sosialita, mulai dari hermes, louis vuitton, dior, valentino, sampai alexander mc queen. Kemudian mengajakku ke beberapa acara amal, pameran berlian, atau sekedar acara yang dibuat oleh kolegannya. Dan mulai sekarang, aku berubah menjadi Nona Besar di samping Ben. Namun sayang, semua yang aku lakukan tidak merubah fikiran kedua orang tua Ben. Mereka selalu menyadarkanku bahwa aku hanyalah orang biasa, bukan darah biru sepertinya, dan aku tidak pantas bersanding dengan Ben. Itu menjadi keputusan mutlak mereka untuk menjauhkanku dengan Ben. Tapi itu bukan masalah yang besar untukku dan Ben, karena kami tinggal di Jakarta yang notabene jauh dari kedua orang tuanya.
Setelah aku menyelesaikan studiku S1, ben pun memberikan tawaran untuk membiayaiku di sebuah Universitas di London untuk melanjutkan studi hukumku. Aku pun dengan sangat antusias menyetujuinya. Dan setelah 2 tahun selalu bersama di sampingnya, kami pun berpisah di bandara malam ini.
Ben, I really want to be your side in everysingle day..” dan genangan air mata pun mulai  menjalar di kelopak mataku.
“Baby, you must take this scholarship, this is a gold, and you have to reach it! I will visit you someday, don’t you worry,” dan dia pun mulai pandai menenangkanku.
“Huhft, so, we still keep in touch, right?”
“Absolutely!”
“I love you so much, Ben.”
“I love you more, baby..”dan dia mulai memelukku kemudian mecium keningku dengan perlahan. Hangat tubuhnya membuatku sangat berat meninggalkan tempat ini. Jangan meninggalkan Indonesia, untuk beranjak satu langkahpun darinya akupun enggan.  (to be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar