Senin, 20 April 2015

Ben and Frapuccino #2



Hidup ini memang sangat pahit, sepahit dan sekeras  espresso ini, ketika diminum terasa sangat pahit dan menyisakan rasa asam yang begitu menyengat lidah. Inilah hidup, kejam memang, tapi akan terasa indah jika kita selalu melakoninya dengan senyuman. Kopi itu pahit, asam, dan hitam, namun akan sangat nikmat jika dinikmati di sore hari menjelang malam. Begitu juga hidupku, pahit, kelam, dan sangat kejam, namun terlihat begitu nikmat  ketika aku bisa menempatkan diriku pada situasi apapun. Sore ini aku masih saja duduk di pojokan Stasiun Balapan sambil mengamati orang yang lalu lalang didepanku. Sesekali aku tersentak ketika melihat beberapa laki-laki yang mirip dengannya, dan ternyata sekali lagi bukan dia. Sambil membawa setoples kopi kecil yang aku siapkan dari rumah, akupun memulai rutinitas ini dari aku pulang kantor sampai larut malam. Sesekali petugas stasiun menghampiriku, seperti malam ini.
“Maaf mbak, daritadi saya amati Mbak sudah lama di sini, mungkin ada yang bisa saya bantu?”
“....” akupun membalasnya dengan senyuman. Sementara dia terheran-heran melihat tingkahku yang sedikit gila, salah seorang petugas yang sudah akrab dengan wajahku pun memangggil petugas di sampingku.
“Mbaknya sedang menunggu calon suaminya.” Katanya, sambil mengedipkan matanya ke petugas yang masih terheran-heran di sampingku.

Pukul 1 pagi, akupun segera bangkit dari kursi dan beranjak meninggalkan stasiun. Sepertinya dia belum pulang, mungkin besok, tebakku dalam hati. Dengan masih mengenakan seragam kantor, aku pun beranjak dari tempat ini. (to be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar