Rabu, 06 Mei 2015

Ben and Frapuccino #11



Perjalanan terasa begitu sepi, dia hanya terdiam, sampai aku harus memulai pembicaraan.
“E, so, where will you stay?”
“Your home,”
“Sorry, sir, where will you stay?”
“Your home,”
“Sorry,  but this sounds unpolite,” kataku dengan sedikit ketakutan.
“You still said that I am unpolite if I say that I am your Ben?”
“Sorry, what did you say?” sepertinya aku mendengar sebuah pengakuan gila.
“I am Ben,”
“You must be joking, I don’t know who you really are, but please, don’t confess that you are Ben,”
“I am Ben.”
“No! Ben is not like you!” aku pun mendadak menghentikan laju mobil. Siapa dia yang mengaku bahwa dia Ben. Ben tidak se putih ini, hidungnya tak semancung ini, dan lihat bola matanya, mata dia coklat, bukan biru seperti itu. Dia kurus, tidak segagah dan se-atletis ini.
I am Joko, Joko Benanto, you always call me Ben. Mama menculikku di stasiun, dia mengubahku menjadi seperti ini, dia melakukan beberapa operasi untuk menghilangkan wujud asliku, menikahkan ku dengan anak konglomerat, menyibukanku dengan semua pekerjaan, mengatur semua hidupku, mengasingkanku di Roma, semua itu agar jauh dari kamu,”
“Beeen, ini benar-benar kamu?” aku pun mulai meraba pipi, hidung, dan bibirnya sambil menangis.
“Ya, this is your Ben, I have searched for you, and finally I found you here, I really loosing you, I’m weak without you.” Dan dia memelukku dengan begitu erat.
“Kamu tampak begitu dingin dan kejam, this is not Ben,”
“Ya, Mama yang merubahku seperti ini, please, be mine, be someone who always by my side, be my wife.”
“Been, I miss youu so much! Don’t you ever leave me without any permission, hik..”
“Clear my case, and be mine.” Katanya sambil terus memelukku dengan begitu erat. (END)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar