Senin, 23 Februari 2015

Ayah Untuk Ayah #4



Aku bekerja di sebuah perusahaan germen internasional di Jakarta, dan posisi general manager baru saja aku raih. Andai saja ibu masih hidup, mungkin dia sempat bisa merasakan kebahagiaan di dunia ini. Dan ayah, adalah beban yang sebenarnya aku tidak begitu ikhlas merelakan sedikit kebaikanku untuknya. Mengalami kecelakaan karena mabuk dijalanan, dan terkena struk, koma yang begitu lama, dan sampai akhirnya dia berhak hidup dan menyusahkanku. Aku harus mengurus dan membiayai pengobatan dia dengan terpaksa.
Usiaku mulai menua, dan aku sama sekali belum berfikiran untuk menikah karena masih dibayang-bayangi oleh rasa takut. Sampai saat ini belum ada lelaki yang bisa membuka mataku untuk melihat sisi lain dari lelaki itu sendiri, ya, sisi baik dari seorang lelaki. Karena yang ada dibenakku lelaki adalah pusat kekejaman, dan aku hendak jauh-jauh dari kekejaman itu. Hanya ada 1 laki-laki yang menurutku sangat baik, yaitu Pak Galih, ayah angkatku.
Sore ini aku sangat lelah, ya, karena bebanku sekarang ini semakin berat dengan adanya ayah. Secangkir kopi yang selalu memberikan ku semangat ketika semuanya mulai kacau, aku duduk sendirian seperti biasanya di kafe ini. Dengan masih menggunakan pakaian kantor yang terlihat sudah kusut ditambah tubuhku yang loyo menjadi sajian para penunjung di café itu. Aku pun mulai merenung apa jadinya nanti kalau aku terus-terusan mengurus ayah, aku masih menyimpan rasa benci dengannya. Kadang aku merasa capek harus berpura-pura baik di depannya, suatu waktu aku sering berfikir untuk membalas perbuatannya kepadaku, namun wajah ibu yang tiba-tiba terlintas selalu saja meredam semua emosiku. Aku benci ayah, dan sampai kapanpun itu tidak akan pernah berubah.
Tiba-tiba suara parau membangunkan lamunku.
“Sendiri? Boleh bergabung?”
“Maaf. Saya sedang ingin sendiri.” Jawabku dengan ketus. Laki-laki yang tidak aku kenal, tiba-tiba datang ke mejaku dan menawarkan untuk duduk dalam satu meja. Benar-benar membosankan. Namun ada satu hal yang aku rasa berbeda, baru pertama kali ini aku tidak merasa cemas dan gelisah ketika berhadapan dengan laki-laki yang baru aku kenal.
“Maaf kalau saya mengganggu, tapi saya terpaksa duduk disini karena sudah tidak ada tempat lain,”
“Tapi saya tidak mengijinkan anda duduk di meja saya.”
“Tapi saya juga membayar di tempat ini, mungkin anda bisa bersugesti seolah-olah saya tidak ada, saya janji tidak akan mengganggu anda.”
“Baiklah, saya anggap anda sudah bergi.”
“Terima kasih banyak, maaf, apa saya boleh tahu anda siapa? Maksud saya nama anda, saya Banu, anda?”
“Maaf sebelumnya, tapi saya anggap anda sudah pergi, dan saya harap anda tidak mengganggu saya. Terima kasih.” Dan akhirnya dia bisa menyumbat mulutnya yang penuh dengan basa-basi menurutku.
Aku baru ingat, aku harus menghubungi dokter baru ayah untuk membuat jadwal konsultasi baru, karena aku sangat jarang memiliki waktu luang. Aku pun mulai menekan tombol ‘call’ di ponselku, dan berharap dokter baru itu adalah seorang perempuan. Secara kebetulan ponsel laki-laki yang menyelinap duduk di mejaku pun berdering, kemudian dia mulai menyambut dengan sapaan,
“Hallo, dokter Banu di sini, ada yang bisa dibantu?” aku mulai menengok ke arahnya, memandang dengan seksama, dan membandingkan suara laki-laki ditelfon dengan laki-laki yang duduk di depanku. Dan dia mulai tersenyum dengan renyahnya.
“Ya Tuhan, ternyata anda yang menelfon saya, benar-benar sebuah kebetulan. Maaf, anda?”
“Saya Jenni, anaknya Deni, kata dokter Pras anda yang akan menggantikan dia selama dia di London,”
“Ya, anda tidak salah, saya dokter baru yang menangani ayah anda.”
“Ya ya ya.. Kapan kita bisa membahas perkembangan Deni?”
“Maaf, maksud anda Pak Deni?”
“Ya, PAK Deni.” Aku pun memberikan intonasi yang lebih jelas ketika mengatakan kata ‘PAK’
“Mungkin besok sore anda bisa bertemu saya di tempat ini, setiap weekend saya selalu kesini, dan saya punya banyak waktu,”
“Ya, jadi besok saya mulai bisa bertemu anda.”
“Begitulah. Maaf, apa anda sering ke tempat ini, tapi sudah sangat lama saya memperhatikan anda. Maaf jika terlihat menakutkan, tapi saya juga hampir setiap malam pergi ke tempat ini, dan andalah satu-satunya orang yang selalu berada di tempat ini setiap sore.”
“Ya, di sini saya melepas lelah.”
“Hampir sama dengan anda, kopi memang jalan dari kebingungan saya,” kemudian dia mulai tersenyum lagi. Benar-benar sosok yang menarik.  (to be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar