Senin, 23 Februari 2015

Ayah Untuk Ayah #3



Sejak kecil aku memang sudah terbiasa hidup menderita seperti ini, bahkan jauh lebih  menderita, melebihi sebuah kata sengsara, merana, dan terlunta-lunta. Ibu adalah satu-satunya malaikat bagiku, sejak usia 1 hari aku sudah dibiasakan dengan caci makian, bentakan, lemparan barng-barang, kekerasan, kekejaman, dan tangisan serta ratapan dari ibu. Aku mengerti betapa sengsara nya ibu saat itu, dan dia terus saja membelaku ketika orang yang terpaksa aku panggil ‘ayah’ itu mulai membabi buta menghajar semua yang ada di rumah. Dia suka mabuk, dia suka judi, dia suka mencaci maki ibu, dia suka memeras ibu, dia suka memperlakukan ibu secara tidak manusiawi, dia suka menghajar ibu sampai babak belur di depanku, dan suka mendongak dengan tingginya seolah dialah yang paling gagah dan perkasa di dunia, dia begitu sombong dengan dunia.
Sayangnya, saat usiaku mulai beranjak besar, disaat aku mempunyai daya untuk melawan ‘ayah’ itu, tubuh ibu mulai berontak, dia diserang gagar otak karena kepalanya sering terbentur, dan aku yakin siapa yang paling dipersalahkan dalam hal ini, ayahku sendiri. Dan akhirnya ibu mendapatkan tempat yang lebih bahagia di sana. Aku sendirian semenjak itu, tidak ada lagi orang yang membelaku ketika ‘ayah’ menghajarku, memaksaku untuk menghadapi para rentenir, dan memaksaku untuk melayani para juragan, karena ayah tidak mampu membayar hutangnya, dia membayarnya dengan tubuhku. Dan keperawananku sudah menghilang sejak hari pertama ibu meninggal, saat itu aku masih kelas 1 SMP. Aku pun membiayai sekolahku sendiri dengan uang hasil penjualan koran setiap pagi ditambah hasil kerjaku di sebuah rumah makan sebagai tukang cuci piring dan gorengan yang aku titipkan di kantin sekolah. Ayah memang kejam, dia selalu tertawa puas setiap kali aku diperlakukan tidak manusiawi oleh para juragan, dan hampir setiap malam aku diperkosa oleh mereka. Bahkan kadang, aku digilir tanpa memandang betapa masih kecilnya aku. Ayahku hanya duduk di sofa sambil terus merokok dan meminum alkohol berbotol-botol sambil mengipas-ngipaskan uang hasil penjualan tubuhku. Aku dijual oleh ayahku sendiri, dan itu lebih keji daripada binatang.
Akhirnya ketika beranjak SMA, aku mulai berani untuk melawan ayah, aku kabur dari rumah dan menghilang dari hidup dia. Aku sangat puas ketika aku bisa menghirup udara bebas setelah aku disiksa dan diinjak-injak secara tidak manusiawi oleh ayahku sendiri. Pak Galih, seorang penjaga di sekolah ku menawari tumpangan untukku, dan aku pun menyanggupinya dengan sekejap dan betapa girangnya aku saat itu. Setelah lulus dari SMA akupun melanjutkan beajarku ke London, aku berkesempatan mendapatkan beasiswa, dan Pak Galih dan istrinya yang begitu baik pun memberiku beberapa lembar uang saat aku hendak berangkat. Ada sedikit rasa trauma yang aku alami karena penindasan ayah, aku takut dekat dengan laki-laki, ya, karena aku beranggapan setiap laki-laki itu jahat seperti ayah. Namun setelah aku beranjak dewasa, rasa trauma itu bisa aku hadapi, walaupun kadang aku merasa cemas dan gelisah ketika mulai dekat dengan laki-laki. Bahkan sampai sekarang.  (to be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar