Pagi
ini kepalaku berat, tampak sosok laki-laki berbadan kurus dan rngkih tepat di sampingku. Ya Tuhan, apa yang
terjadi semalam. Aku pun bergegas bangun dan mengambil bajuku yang terlempar di
sofa. Selang beberapa menit lelaki itu terbangun dan tampak kebingungan ketika
menyadari dia tidak mengenakan baju.
“Eee,
aaaa, aaaa, mmmaaaf, aku, aku, aku tidak berbuat apapun,” dan dia tampak gugup
dan ketakutan.
“It’s oke, sorry udah bikin apartemen lo
berantakan.”
“Jadi
kamu ga berprasangka buruk kan?”
“No, I trust you.” dan aku pun tersenyum.
Dia tampak takut, bingung, dan gelisah.
“Syukurlah,
Oke, aku Noah,”
“Jess,”
“Jess,
sebenarnya aku susah payah menemuimu hanya untuk mengembalikan ini,” diapun
menyodorkan sebuah korek api kecil. Ya, itu korek api Papa yang hilang dan
membuat gila belakangan ini.
“Darimana
kamu dapet korek api Papa?”
“Maaf,
mungkin kamu lupa, kamu pernah menabrakku, dan di situ kamu meninggalkan korek
api itu.”
“Oh, Oke, Thanks, bye.”
“Waiit,If you don’t mind, I will prepare a
breakfast for you,”
katanya. Dan aku tidak bisa menolak permintaan itu, dia tampak tulus.
“Oke,”
Sandwich
sederhana ini terasa lezat, tidak sama dengan rasa sandwich di meja bersama
Mama. Noah, sepertinya aku sudah mengenalnya sejak lama, aku begitu saja
percaya dengan orang asing ini. Dia tampak tenang, teduh, dan aku merasa sangat
nyaman dengannya. Kalau harus benar-benar memilih, aku ingin sekali tinggal di
sini bersamanya, tapi rasanya tidak mungkin.
“How’s your feeling?” katanya.
“Better, thanks buat semalem, kamu benar-benar gila,” kataku sambil
tersenyum.
“Kamu?”
“E,
maksudnya lo, ya, something like that,”
pipi ini mendadak memerah. Malu rasanya ketika dia memojokkan pertanyaan itu.
“Haha,
apapun sebutannya, yang terpenting kamu masih mau di sini mengenalku,”
“Ya
ya ya.” (to be continue)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar