Perjalanan
terasa begitu sepi, dia hanya terdiam, sampai aku harus memulai pembicaraan.
“E, so, where will you stay?”
“Your home,”
“Sorry, sir, where will you stay?”
“Your home,”
“Sorry, but
this sounds unpolite,” kataku dengan sedikit ketakutan.
“You still said that I am unpolite if I say that I am
your Ben?”
“Sorry, what did you say?” sepertinya
aku mendengar sebuah pengakuan gila.
“I am Ben,”
“You must be joking, I don’t know who you really are,
but please, don’t confess that you are Ben,”
“I am Ben.”
“No! Ben is not like you!” aku pun
mendadak menghentikan laju mobil. Siapa dia yang mengaku bahwa dia Ben. Ben
tidak se putih ini, hidungnya tak semancung ini, dan lihat bola matanya, mata
dia coklat, bukan biru seperti itu. Dia kurus, tidak segagah dan se-atletis
ini.
“I am Joko, Joko Benanto, you always call me
Ben. Mama menculikku di stasiun, dia mengubahku menjadi seperti ini, dia
melakukan beberapa operasi untuk menghilangkan wujud asliku, menikahkan ku
dengan anak konglomerat, menyibukanku dengan semua pekerjaan, mengatur semua
hidupku, mengasingkanku di Roma, semua itu agar jauh dari kamu,”
“Beeen, ini
benar-benar kamu?” aku pun mulai meraba pipi, hidung, dan bibirnya sambil
menangis.
“Ya, this is your Ben, I have searched for you, and
finally I found you here, I really loosing you, I’m weak without you.” Dan dia
memelukku dengan begitu erat.
“Kamu tampak
begitu dingin dan kejam, this is not Ben,”
“Ya, Mama
yang merubahku seperti ini, please, be
mine, be someone who always by my side, be my wife.”
“Been, I miss youu so much! Don’t you ever leave me
without any permission, hik..”
“Clear my case, and be mine.” Katanya
sambil terus memelukku dengan begitu erat. (END)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar