Sejak kecil aku memang sudah terbiasa hidup
menderita seperti ini, bahkan jauh lebih
menderita, melebihi sebuah kata sengsara, merana, dan terlunta-lunta.
Ibu adalah satu-satunya malaikat bagiku, sejak usia 1 hari aku sudah dibiasakan
dengan caci makian, bentakan, lemparan barng-barang, kekerasan, kekejaman, dan
tangisan serta ratapan dari ibu. Aku mengerti betapa sengsara nya ibu saat itu,
dan dia terus saja membelaku ketika orang yang terpaksa aku panggil ‘ayah’ itu
mulai membabi buta menghajar semua yang ada di rumah. Dia suka mabuk, dia suka
judi, dia suka mencaci maki ibu, dia suka memeras ibu, dia suka memperlakukan
ibu secara tidak manusiawi, dia suka menghajar ibu sampai babak belur di
depanku, dan suka mendongak dengan tingginya seolah dialah yang paling gagah
dan perkasa di dunia, dia begitu sombong dengan dunia.
Sayangnya, saat usiaku mulai beranjak besar, disaat
aku mempunyai daya untuk melawan ‘ayah’ itu, tubuh ibu mulai berontak, dia
diserang gagar otak karena kepalanya sering terbentur, dan aku yakin siapa yang
paling dipersalahkan dalam hal ini, ayahku sendiri. Dan akhirnya ibu
mendapatkan tempat yang lebih bahagia di sana. Aku sendirian semenjak itu,
tidak ada lagi orang yang membelaku ketika ‘ayah’ menghajarku, memaksaku untuk
menghadapi para rentenir, dan memaksaku untuk melayani para juragan,
karena ayah tidak mampu membayar hutangnya, dia membayarnya dengan tubuhku. Dan
keperawananku sudah menghilang sejak hari pertama ibu meninggal, saat itu aku
masih kelas 1 SMP. Aku pun membiayai sekolahku sendiri dengan uang hasil
penjualan koran setiap pagi ditambah hasil kerjaku di sebuah rumah makan
sebagai tukang cuci piring dan gorengan yang aku titipkan di kantin
sekolah. Ayah memang kejam, dia selalu tertawa puas setiap kali aku
diperlakukan tidak manusiawi oleh para juragan, dan hampir setiap malam aku
diperkosa oleh mereka. Bahkan kadang, aku digilir tanpa memandang betapa masih
kecilnya aku. Ayahku hanya duduk di sofa sambil terus merokok dan meminum alkohol
berbotol-botol sambil mengipas-ngipaskan uang hasil penjualan tubuhku. Aku
dijual oleh ayahku sendiri, dan itu lebih keji daripada binatang.
Akhirnya ketika beranjak SMA, aku mulai berani untuk
melawan ayah, aku kabur dari rumah dan menghilang dari hidup dia. Aku sangat
puas ketika aku bisa menghirup udara bebas setelah aku disiksa dan
diinjak-injak secara tidak manusiawi oleh ayahku sendiri. Pak Galih, seorang
penjaga di sekolah ku menawari tumpangan untukku, dan aku pun menyanggupinya
dengan sekejap dan betapa girangnya aku saat itu. Setelah lulus dari SMA akupun
melanjutkan beajarku ke London, aku berkesempatan mendapatkan beasiswa, dan Pak
Galih dan istrinya yang begitu baik pun memberiku beberapa lembar uang saat aku
hendak berangkat. Ada sedikit rasa trauma yang aku alami karena penindasan
ayah, aku takut dekat dengan laki-laki, ya, karena aku beranggapan setiap
laki-laki itu jahat seperti ayah. Namun setelah aku beranjak dewasa, rasa trauma
itu bisa aku hadapi, walaupun kadang aku merasa cemas dan gelisah ketika mulai
dekat dengan laki-laki. Bahkan sampai sekarang. (to be continue)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar