Akhirnya aku pun pergi dengan atasanku, tidak biasanya dia menyetir
sendiri. Dia tampak lebih tampan mengenakan setelah tuxedo dan sepatu mahalnya diiringi dengan aroma white crystal, benar-benar sempurna. Yang aku herankan, lelaki setampan,
sekaya, sesempurna ini masih saja melajang, karena di kantor gosip itu masih
saja santer dikuping para karyawan, khususnya wanita lajang.
Kami pun berhenti di sebuah rumah super mewah dan tampak beberapa
wartawan langsung menyorot ke arah kami. Gunung pun langsung berlalu sambil menggandeng erat
tanganku. Sesampainya di dalam dia pun sedikit membenahi tuxedo nya dan tersenyum kepadaku.
“Ok, welcome to my world.” Katanya. Dan aku sama
sekali tidak mengerti mengerti apa maksud dari perkataannya.
Beberapa menit kemudian sepasang suami istri separuh baya menghampiri
kami.
“Gunung, apa kabar? Oh, this is
your choice? What a pretty one,” dan kami pun bersalaman. Ini adalah
pergaulann sosialita dengan balutan mahal dan mewah. Dan aku sangat minder
berada di kalangan ini. Aku heran,
kenapa Gunung sama sekali tidak menyangkal ketika beberapa orang menghampiri
kami dan menebak-nebak seolah aku calon istrinya. Apakah ini bagian dari
skenario dia? Mungkin.
Setelah acara amal kelas atas itu selesai, kami pun pulang, dan di jalan
Gunung lebih banyak berbicara dibanding ketika kami berangkat.
“Kamu sudah lelah?”
“Belum,pak”
“Saya bilang, just call me Gunung, it sounds better,”
“Baiklah,”
“Kamu keberatan kalo kita mampir ngopi dulu?”
“It’s ok,” (to be continue)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar