Saturday,
7 pm
Aku berjalan di altar menggandeng tangan ayahku. Ya, aku akhirnya menciumnya di
sana seolah ini adalah ciuman penuh dengan cinta. Akhirnya aku menyerah dengan
keadaan. Gila memang, mengiyakan perjanjian yang dia sodorkan. Namun aku sudah
putus asa dengan tingkah Teddy yang semakin lama semakin gila. Aku masih
mencintai lelaki itu, tapi aku sadar, bahwa aku tidak mungkin bisa memiliknya.
So Teddy, live your life and I’ll live mine, okey?
Aku menangis ketika jariku tersamat
cincin yang tertuliskan inisial nama Willy. Seharusnya ini T, bukan W, dan
seharusnya hari ini aku menangis bahagia bukan menangis karena menderita. Ini
semua aku lakukan untuk melupakanmu Ted, ini semua aku lakukan untuk
kehidupanku yang lebih damai dengan istrimu. Aku tidak ingin terus-terusan
menjadi bayangan dalam rumah tanggamu. Bahkan aku rela menikahi lelaki
menyebalkan ini untukmu.
Aku sengaja mengundang Teddy, ya, aku
harap dia datang dan menyaksikan aku benar-benar berada disisi laki-laki lain.
Itu yang dulu aku rasakan ketika kamu mencium Mita. Rasa sakit yang seperti itu
yang aku rasakan, Ted. Sakit kan rasanya? Ya, aku harap ini adalah rasa sakitmu
yang terakhir dan memulai hidupmu tanpaku, begitu juga aku.
Dia datang sendirian, ya, aku
melihatnya, duduk di pojokan sambil meminum segelas wine. Kamu tau apa yang
paling kamu tunggu di saat pernikahanmu, ya, how many ex boyfriends of yours who attend on your wedding? Dan
satu-satunya mantan pacarku adalah Teddy, wajar jika aku sesekali celingukan
untuk mencari dia. Dengan langkah gontai lelaki itu menghampiriku dan Willy.
Seolah memberikan selamat, dan membisikanku sesuatu.
“I’ve already divorced her for you,” mataku
pun terbelalak, dan berkaca-kaca. Benarkan dia mengatakan itu di hari
pernikahanku? Inikah kado terindah di
hari pernikahanku? Kemudian dia memelukku di hari ini. (END)